Khutbah Jum’at Hari IbuTgl 10 Desember 2021
نَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى
سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ
فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ
الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ
بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Hadirin Jama’ah Jum’ah RK :
Pada
kesempatan Jum’at kali ini, kita
bersimpuh di hadapan Allah swt, dalam rangka menunaikan sholat jum’at, seraya
bersyukur pada Allah swt., bahwa kita masih diberi kesempatan untuk bertemu
kembali dengan Bulan Desember 2021.
Setiap tahun
pada bulan Desember, ada satu hari yang disebut Hari Ibu. Hampir setiap negara di dunia ini memi - liki
Hari Ibu yang peringatannya dilaksanakan pada hari yang berbeda satu sama lain.
Di Indonesia
Hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Di negara-negera Eropa dan
Amerika, peringatan Hari Ibu jatuh pada hari Minggu kedua, bulan Mei. Sementara
di negara-negara Arab, seperti, Mesir, Iraq,
Saudi Arabia, dan sebagainya Hari
Ibu jatuh pada tanggal 21 Maret. Dari
data tersebut, dapat kita ketahui bah- wa di setiap budaya atau bangsa, seorang
ibu diakui memiliki peran sangat penting dalam hidup ini. Adanya peringatan
Hari Ibu di seluruh dunia, menunjukkan adanya kesadaran bersama untuk mengakui
sekaligus menghargai jasa-jasa seorang ibu.
Jauh sebelum dunia menetapkan perlunya peringatan Hari Ibu, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar teologis bahwa
seorang ibu diakui sangat mulia dan sangat berharga. sebagaimana ditegaskan dalam
sebuah hadits yang diriwayatakan dari Anas bin Malik RA: الجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ “Surga itu di bawah telapak kaki ibu.” Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu
memiliki kedudukan yang sangat mulia hingga seolah-olah surga yang begitu indah
dan agung saja tidak lebih tingggi daripada seorang ibu karena diibaratkan
berada di bawah telapak kakinya. Kita semua tahu bahwa telapak kaki adalah
bagian paling bawah atau rendah dari organ manusia. Namun maksud hadits ini
adalah bahwa tidak mungkin seorang anak
bisa masuk surga tanpa ketundukan kepada seorang ibu.
Di lain
Pihak menafsirkan Hadits tersebut bahwa makna “ Tahta Akdamil Ummahati” ,
adalah langkah usaha seorang ibu, dimana seorang anak bias masuk surga atau tidak,
apakah sang anak menjadi anak yang sholeh atau tidak, apakah si anak menjadi
orang yang taqwa atau tidak, sangat tergantuk kepada seorang ibu, dalam
mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sehingga seorang ibu memiliki peranan
yang sangat penting dalam membina akhlak dan akidah anak-anaknya.
Hadirin Jama’ah Jum’at RK :
Rasulullah
SAW mengisyaratkan agar bakti kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada
ayah, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah RA:
مَنْ أحَقُّ الناس بِحُسْن صَحابتي ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أبُوك
“ Man
ahakkun naasa bihusni shohabati ?
Qoola :
Ummuka, Qoola tsumma man ?
Qoola : Ummuka,
Qoola tsumma man ?
Qoola :
Ummuka, Qoola tsumma man ?
Qoola :
Abuuka. “
“Suatu hari
datanglah seorang laki-laki kepada Rasulillah SAW. Orang itu bertanya kepada Rasulullah, siapakah di
antara manusia yang paling berhak kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab,
ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu.
Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu.
Orang itu bertanya lagi, Kemudian siapa
lagi ? Nabi menjawab, ayahmu."
Dari hadits
di atas dapat kita ketahui bahwa perbandingan bakti kita kepada ibu dan ayah
adalah 3 : 1, atau 75 persen untuk ibu,
dan 25 persen untuk ayah. Pertanyaan yang muncul kemudian, atas dasar apa
Rasulullah SAW mengisyaratakan perbandingan seperti itu. Pertanyaan ini dapat kita temukan jawabannya dalam surat Luqman, ayat 14, dimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan kami
perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapa; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan susah payah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepadaku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu.”
Dari ayat di
atas, dapat kita ketahui bahwa dalam kaitannya dengan proses kejadian dan
kelahiran manusia ke bumi ini, terdapat 4 fase penting. Fase pertama adalah
fase yang melibatkan partisipasi dari
ayah dan ibu dimana peran ayah sangat menentukan. Dalam fase ini, sel
telur sang ibu tidak mungkin terbuahi tanpa pertemuannya dengan seperma sang
ayah. Dengan kata lain tugas alamiah
seorang laki-laki atau ayah adalah membuahi sel telur perempuan atau ibu,
sehingga terjadi kehamilan yang bentuk awalnya berupa gumpalan darah yang dalam Al Qur’an, Surat ke 96, ayat 2 disebut sebagai ‘alaq sebagaimana ayat
berikut: خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.” Ayat di atas menegaskan bahwa proses
awal terjadinya manusia adalah gumpalan darah. Hanya pada fase awal inilah
seorang laki-laki memainkan peran alamiah satu-satunya, yang tidak mungkin digantikan oleh perempuan,
karena sel telur hanya bisa dibuahi oleh sperma. Maka bisa dimengerti bakti seorang anak kepada ayah dibadingkan
dengan ibu adalah 1 : 3 karena dalam 3 proses berikutnya seorang ayah sudah
tidak terlibat lagi. Masing-masing dari
ketiga proses ini sepenuhnya dilakukan oleh ibu dengan susah payah dan penuh
risiko. Hal ini berbeda sama sekali dengan proses awal atau fase pertama yang
penuh dengan kenikmatan tanpa risiko berarti.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setelah
selesainya proses pertama, yakni pembuahan sel telur oleh sperma, maka proses
berikutnya atau kedua adalah kehamilan. Dalam proses ini, seorang ibu harus
mengandung si janin dalam kandungan selama rata-rata 9 bulan. Selama 9 bulan
ini, tidak ada partisipasi ayah sama sekali karena organ laki-laki memang tidak
dirancang untuk bisa mengandung seorang bayi. Hingga kini pun tidak ada
teknologi yang bisa membuat laki-laki berpartisipasi atau mengambil alih tugas
mengandung.
Bayi tabung
pun juga tidak bisa dikembangkan dalam organ laki-laki karena faktanya laki-laki memang tidak memiliki rahim. Dalam
fase mengandung ini, seorang ibu mengalami kesusahan demi kesusahan yang
didalam Al Qur’an digambarkan sebagai
وهنا على وهن
(
Wahnan ‘ala wahnin ), yakni
keadaan susah payah dan lemah yang dari hari ke hari bukannya makin ringan
tetapi makin berat.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setelah
proses kedua selesai, disusul proses ketiga yang merupakan puncak dari proses
kehamilan, yakni proses melahirkan. Lagi-lagi dalam proses melahirkan ini tidak
ada keterlibatkan seorang ayah. Seorang ibu harus berjuang sendiri untuk bisa
melahirkan anaknya dengan selamat, baik selamat bagi dirinya sendiri maupun
bayi yang dilahirkannya. Tugas ini
ber-risiko tinggi karena secara langsung berkaitan dengan keselamatan jiwa.
Tentunya telah sering kita dengar beberapa perempuan meninggal saat melahirkan.
Dalam proses melahirkan ini, sang ayah
juga tidak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban sang ibu.
Seringkali terjadi, sang ayah tak
sanggup dan tak tega menyaksikan sang ibu sedang berjuang melahirkan karena
penderitaan yang dialaminya sangat berat dengan nyawa sebagai taruhannya.
Seringkali pula, sang ayah hanya bisa menangis penuh kekhawatiran sambil berdoa
mudah-mudahan sang ibu bisa melahirkan anaknya
dengan selamat.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setelah
proses ketiga selesai, disusul proses keempat, yakni menyusui. Dalam proses
menyusui ini, sang ibu harus berhati-hati dan selalu menjaga diri sebaik
mungkin karena apa yang terjadi pada dirinya bisa berdampak langsung pada si
bayi. Sang ibu harus sanggup berjaga menahan kantuk, baik siang maupun malam.
Ketika si bayi haus dan lapar dan membutuhkan ASI, seorang ibu harus selalu
siap memberikannya. Dalam tugas ini, sang ayah juga tidak bisa berbuat banyak
untuk meringankan beban sang ibu. Berbagai
resiko, baik fisik maupun non-fisik pun, juga sering dihadapi para ibu yang
sedang menyusui.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Al-Qur’an
memberitakan masa menyusui adalah dua tahun sebagaimana bunyi ayat: وفصاله في عامين
“Dan menyapihnya dalam usia dua tahun.” Masa
dua tahun menyusui dengan ASI adalah ideal terutama bagi ibu-ibu yang memang
memiliki kesempatan untuk itu. Tetapi bagi mereka yang memiliki masalah
tertentu, maka setidaknya selama 6 bulan pertama dapat mengusahakannya sebab
selama itu ASI bersifat eksklusif. Ini
merupakan standar internasional yang
didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi,
pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi yang
dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif
mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum
menimpa anak-anak, seperti diare dan radang paru-paru, serta mempercepat
pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mengingat
beratnya tugas ibu, yakni tiga hal penting yang terdiri dari: mengandung,
melahirkan dan menyusui, maka bisa dimengerti mengapa Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan agar hormat
dan bakti kepada ibu lebih besar daripada kepada ayah. Oleh karena itu para ayah tidak boleh iri, dan
bukan pula Islam tidak adil, sungguh Islam sangat adil Sebagaimana saya uraikan di atas,
perbandingannya adalah 3 : 1, Ini adalah
Perbandingan yang sangat adil dan masuk akal .
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ
فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُا
Sabda Rasulullah SAW itu diriwayatkan oleh Thabrani & Ibnu Asakir. Dishahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah.
Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedekah setiap harinya mulai matahari terbit. Berbuat adil antara dua orang adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik adalah sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (HR. Bukhari)
Demikianlah Muslim. Demikianlah Mukmin. Ia senantiasa terpanggil untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain, nafi'un li ghairihi. Seorang Muslim yang menjadi pedagang atau pebisnis, orientasinya bukanlah sekedar meraup untung sebesar-besarnya, tetapi orientasinya adalah bagaimana ia memberikan manfaat kepada orang lain, membantu mereka memperoleh apa yang mereka butuhkan. Dengan demikian, pedagang dan pebisnis Muslim pantang menipu customernya, pantang mengurangi timbangannya, bahkan ia memberikan yang terbaik kepada mereka, dan pada saat dibutuhkan menjadi konsultan serta memberikan pilihan-pilihan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar